Saat itu aku baru lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Bandung. Di sana aku tinggal di rumah pamanku. Paman dan bibi dengan senang hati menerimaku tinggal di rumah mereka, karena paman dan bibiku yang sudah 4 tahun menikah belum juga punya anak sampai saat itu, jadi kata mereka biar suasana rumahnya tambah ramai dengan kehadiranku.
Pamanku ini adalah adik ibuku paling kecil, saat itu dia baru berumur 35 tahun. Rumah pamanku sangat luas, di sana ada kolam renangnya dan juga ada lapangan tenisnya, maklum pamanku adalah seorang pengusaha sukses yang kaya. Selain bibiku dan pamanku, di rumah itu juga ada 3 orang pembantu, 2 cewek dan seorang bapak tua berusia setengah umur, yang bertugas sebagai tukang kebun.
Kedua pembantu cewek tersebut, yang satu adalah janda berumur 27 tahun bernama Trisni dan yang satu lagi lebih muda, baru berumur 18 tahun bernama Erni. Si Erni ini, biarpun masih berumur begitu muda, tapi sudah bersuami dan suaminya tinggal di kampung, bertani katanya.
Suatu hari ketika kuliahku sedang libur dan paman dan bibiku sedang keluar kota, aku bangun agak kesiangan dan sambil masih tidur-tiduran di tempat tidur aku mendengar lagu dari radio. Tiba-tiba terdengar ketukan pada pintu kamarku, lalu terdengar suara,
“Den Eric.., apa sudah bangun..?” terdengar suara Trisni.
“Yaa.. ada apa..?” jawabku.
“Ini Den. Saya bawakan kopi buat Aden..!” katanya lagi.
“Oh.. yaa. Bawa masuk saja..!” jawabku lagi.
Kemudian pintu dibuka, dan terlihat Trisni masuk sambil tangannya membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir kopi panas dan pisang goreng. Ketika dia sedang meletakkan kopi dan pisang goreng di meja di samping tempat tidurku, badannya agak merapat di pinggir tempat tidur dan dalam posisi setengah membungkuk, terlihat dengan jelas bongk*han pant*tnya yang montok dengan pinggang yang cukup langsing ditutupi kain yang dipakainya.
Melihat pemandangan yang menarik itu dengan cepat rasa isengku bangkit, apalagi ditunjang juga dengan keadaan rumah yang sepi, maka dengan cepat tanganku bergerak ke obyek yang menarik itu dan segera mengelusnya. Trisni terkejut dan dengan segera menghindar sambil berkata,
“Iihh.., ternyata Den Eric jail juga yaa..!”
Melihat wajah Trisni yang masem-masem itu tanpa memperlihatkan ekspresi marah, maka dengan cepat aku bangkit dari tempat tidur dan segera menangkap kedua tangannya.
“Aahh.. jangaann Deenn, nanti terlihat sama si Erni, kan malu atuu..!”
Tapi tanpa memperdulikan protesnya, dengan cepat kutarik badannya ke arahku dan sambil mendekapnya dengan cepat bib*rku menyergap bib*rnya yang karena terkejut menjadi agak terbuka, sehingga memudahkan l*dahku menerobos masuk ke dalam mulutnya.
Dengan segera kusedot bib*rnya, dan l*dahku kumain-mainkan dalam mulutnya, memelintir l*dahnya dan mengelus-elus bagian langit-langit mulutnya. Dengan cepat terdengar suara dengusan keluar dari mulutnya dan kedua matanya membelalak memandangku.
D*d*nya yang montok itu bergerak naik turun dengan cepat, membuat n*fsu b*rahiku semakin meningkat. Tangan kiriku dengan cepat mulai bergerilya pada bagian d*d*nya yang menonjol serta mer*ngs*ng itu, meng*lus-*lus kedua bukit kembar itu disertai ramasan-ramasan gemas, yang dengan segera membangkitkan n*fsu Trisni juga.
Hal itu terlihat dari wajahnya yang semakin memerah dan nafasnya yang semakin ngos-ngosan. Tiba-tiba terdengar suara dari arah dapur dan dengan cepat aku segera melepaskannya, Trisni juga segera membereskan rambut dan bajunya yang agak acak-acakan akibat seranganku tadi.
Sambil menjauh dariku, dia berkata dengan pelan,
“Tuhkan.., apa yang Trisni katakan tadi, hampir saja kepergok, Adeen genit siih..!”
Sebelum dia keluar dari kamarku, kubisikan padanya,
“Triis, ntar malam kalau semua sudah pada tidur kita teruskan yah..?”
“Entar nanti ajalah..!” katanya dengan melempar seulas senyum manis sambil keluar kamarku.
Malamnya sekitar jam 21.00, setelah semua tidur, Trisni datang ke ruang tengah, dia hanya memakai pakaian tidur yang tipis, sehingga kelihatan C* dan B*-nya.
“Eeh, apa semua sudah tidur..?” tanyaku.
“Sudah Den..!” jawabnya.
Untuk lebih membuat suasana makin panas, aku telah menyiapkan film ** yang kebetulan dapat pinjam dari teman. Lalu aku mulai menyetel film itu dan ternyata pemainnya antara seorang pria Negro dan wanita Asia.
Terlihat adegan demi adegan melintas pada layar TV, makin lama makin ‘h*t’ saja, akhirnya sampai pada adegan dimana keduanya telah tel*nj*ng bulat. Si pria Negro dengan tubuhnya tinggi besar, hitam mengkilat apalagi p*nisnya yang telah t*gang itu,
Benar-benar dasyat, panjang, besar, hitam mengkilat kecoklat-coklatan, sedangkan ceweknya yang kelihatan orang Jepang atau orang Cina, dengan badannya kecil mungil tapi padat, kulitnya putih bersih benar-benar sangat kontras dengan pria Negro tersebut.
“Aduuh.., Den. Kasian tu cewe, Negronya kok sadis benar yaah..? Iihh.., ngilu rasanya melihat barang segede itu..!” guman Trisni setengah berbisik sambil kedua bahunya agak menggigil, sedangkan wajahnya tampak mulai memerah dan nafasnya agak tersengal-sengal.
“Wah.., Tris kan yang gede itu enak rasanya. Coba bayangkan kalau barangnya si Negro itu mengaduk-aduk itunya Trisni. Bagaimana rasanya..?” sahutku.
“Iih.., Aden jorok aahh..!” sahut Trisni disertai bahunya yang menggigil, tapi matanya tetap terpaku pada adegan demi adegan yang makin seru saja yang sedang berlangsung di layar TV.
Melihat keadaan Trisni itu, dengan diam-diam aku meluncurkan celana pendek yang kukenakan sekalian dengan C*, sehingga senj*taku yang memang sudah sangat tegang itu meloncat sambil mengangguk-anguk dengan bebas. Melihat p*nisku yang tidak kalah besarnya dengan si Negro itu terpampang di hadapannya, kedua tangannya secara refleks menutup mulutnya, dan terdengar jeritan tertahan dari mulutnya.
Kemudian p*nisku itu kudekatkan ke wajahnya, karena memang posisi kami pada waktu itu adalah aku duduk di atas sofa, sedangkan Trisni duduk melonjor di lantai sambil bersandar pada sofa tempat kududuk, sehingga posisi barangku itu sejajar dengan kepalanya.
Segera kupegang kepala Trisni dan kutarik mendekat ke arahku, sehingga badan Trisni agak merangkak di antara kedua kakiku. Kepalanya kutarik mendekat pada kem*lu*nku, dan aku berusaha memasukkan p*nisku ke mulutnya. Akan tetapi dia hanya mau menc*uminya saja, l*dahnya bermain-main di kepala dan di sekitar b*tang p*nisku. Lalu dia mulai menj*lati kedua buah pel*rku, waahh.., geli banget rasanya.
Akhirnya kelihatan dia mulai meningkatkan permainannya dan dia mulai mengh*sap p*nisku pelan-pelan. Ketika sedang asyik-asyiknya aku merasakan his*pan Trisni itu, tiba-tiba si Erni pembantu yang satunya masuk ke ruang tengah, dan dia terkejut ketika melihat adegan kami. Kami berdua juga sangat kaget, sehingga aktivitas kami jadi terhenti dengan mend*d*k.
“Ehh.., Erni kamu jangan lapor ke Paman atau Bibi ya..! Awas kalau lapor..!” ancamku.
“Ii.. ii.. iyaa.. Deen..!” jawabnya terbata-bata sambil matanya setengah terbelalak melihat kem*luanku yang besar itu tidak tertutup dan masih tegak berdiri.
“Kamu duduk di sini aja sambil nonton film itu..!” sahutkku.
Dengan diam-diam dia segera duduk di lantai sambil matanya tertuju ke layar TV. Aku kemudian melanjutkan aktivitasku terhadap Trisni, dengan melucuti semua baju Trisni. Trisni terlihat agak kikuk juga terhadap Erni, akan tetapi melihat Erni yang sedang asyik menonton adegan yang berlasung di layar TV itu, akhirnya diam saja membiarkanku melanjutkan aktivitasku itu.
Setelah bajunya kulepaskan sampai dia tel*njang bulat, kutarik badannya ke arahku, lalu dia kurebahkan di sofa panjang. Kedua kakinya tetap terjulur ke lantai, hanya bagian pant*tnya ke atas yang tergeletak di sofa. Sambil membuka bajuku, kedua kakinya segera kuk*ngkangi dan aku berlutut di antara kedua p*hanya.
Kedua tanganku kuletakkan di atas pinggulnya dan jari-jari jempolku menekan pada bib*r kem*luannya, sehingga kedua bib*r kem*luannya agak terbuka dan aku mulai menj*lati permukaan kem*luannya, ternyata kem*luannya sudah sangat basah. “Deen.., oh Deen..! Uuenaak..!” r*ntihnya tanpa sadar.
Sambil terus menj*lati kem*luannya Trisni, aku melirik si Erni, tapi dia pura-pura tidak melihat apa yang kami lakukan, akan tetapi d*d*nya terlihat naik turun dan wajahnya terlihat memerah. Tidak berselang lama kemudian badannya Trisni bergetar dengan hebat dan pant*tnya terangkat ke atas dan dari mulutnya terdengar d*sahan panjang.
Rupanya dia telah mengalami org*sme. Setelah itu badannya terkulai lemas di atas sofa, dengan kedua kakinya tetap terjulur ke lantai, matanya terpejam dan dari wajahnya terpancar suatu kepuasan, pada dahinya terlihat bitik-bintik keringat.
Aku lalu berjongkok di antara kedua p*hanya yang masih terkangkang itu dan kedua jari jempol dan telunjuk tangan kiriku kuletakkan pada bib*r kem*luannya dan kutekan supaya agak membuka, sedang tangan kananku kupegang b*tang p*nisku yang telah sangat teg*ng itu yang berukuran 19 cm, sambil kugesek-gesek kepala p*nisku ke bib*r v*gina Trisni.
Akhirnya kutempatkan kepala p*nisku pada bib*r kem*luan Trisni, yang telah terbuka oleh kedua jari tangan kiriku dan kutekan p*nisku pelan-pelan. Bles..! mulai kepalanya menghilang pelan-pelan ke dalam v*gina Trisni diikuti patang p*nisku, centi demi centi menerobos ke dalam l*ang v*ginanya.
Sampai akhirnya amblas semua b*tang p*nisku, sementara Trisni meng*rang-*rang keenakan.
“Aduhh.. eennaak.., ennkk Deen. Eenak..!”
Aku menggerakan pinggulku maju mundur pelan-pelan, sehingga p*nisku keluar masuk ke dalam v*gina Trisni.
Terasa masih sempit l*ang v*gina Trisni, kepala dan b*tang p*nisku serasa dijepit dan diurut-urut di dalamnya. Amat nikmat rasanya p*nisku menerobos sesuatu yang kenyal, licin dan sempit. Rangs*ngan itu sampai terasa pada seluruh badanku sampai ke ujung rambutku.
Aku melirik ke arah Erni, yang sekarang secara terang-terangan telah memandang langsung ke arah kami dan melihat apa yang sedang kami lakukan itu.
“Sini..! Daripada bengong aja mendingan kamu ikut.., ayo sini..!” kataku pada Erni.
Lalu dengan masih malu-malu Erni menghampiri kami berdua. Aku ganti posisi, Trisni kusuruh men*ngging, telungkup di sofa. Sekarang dia berlutut di lantai, dimana perutnya terletak di sofa. Aku berlutut di belakangnya dan kedua p*hanya kutarik melebar dan kumasukkan p*nisku dari belakang menerobos ke dalam v*ginanya.
Kugarap dia dari belakang sambil kedua tanganku bergerilya di tubuh Erni. Kuelus-elus d*d*nya yang masih terbungkus dengan baju, kuusap-usap perutnya. Ketika tanganku sampai di cel*na d*lamnya, ternyata bagian bawah C*-nya sudah basah, aku menc*um mulutnya lalu kusuruh dia meloloskan blouse dan B*-nya.
Setelah itu aku menghis*p p*tingnya berganti-ganti, dia kelihatan sudah sangat ter*ngs*ng. Kusuruh dia melepaskan semua sisa pakaiannya, sementara pada saat bersamaan aku merasakan p*nisku yang berada di dalam v*gina Trisni tersiram oleh cairan hangat dan badan Trisni terlonjak-lonjak, sedangkan pant*tnya bergetar.
Oohhh.., rupanya Trisni mengalami org*sme lagi pikirku. Setelah badannya bergetar dengan hebat, Trisni pun terkulai lemas sambil telungkup di sofa. Lalu kucabut p*nisku dan kumasukkan pelan-pelan ke v*gina si Erni yang telah kusuruh tidur tel*ntang di lantai. Ternyata kem*luan Erni lebih enak dan terasa lubangnya lebih sempit dibandingkan dengan kem*luan Trisni.
Mungkin karena Erni masih lebih muda dan jarang ketemu dengan suaminya pikirku. Setelah masuk semua aku baru merasakan bahwa v*gina si Erni itu dapat mengempot-empot, p*nisku seperti diremas-remas dan dihis*p-his*p rasanya.
“Uh enak banget m*m*kmu Errr. Kamu apain itu m*m*kmu heh..?” kataku dan si Erni hanya senyum-senyum saja, lalu kupompa dengan lebih semangat.
“Den.., ayoo lebih cepat..! Deen.. lebih cepat. Iiih..!” dan kelihatan bahwa si Erni pun akan mencapai kl*maks.
“Iihh.. iihh.. iihh.. hmm.. oohh.. Denn.. enaakk Deen..!” r*ntihnya terputus-putus sambil badannya mengejang-ngejang.
Aku mendiamkan gerakan p*nisku di dalam lubang v*gina Erni sambil merasakan ramasan dan emp*tan v*gina Erni yang lain dari pada lain itu. Kemudian kucabut p*nisku dari kem*luan Erni, Trisni langsung mendekat dan dikoc*knya p*nisku dengan tangannya sambil dihis*p ujungnya.
Kemudian gantian Erni yang melakukannya. Kedua cewek tersebut jongkok di depanku dan bergantian menghis*p-his*p dan mengoc*k-ngoc*k p*nisku. Tidak lama kemudian aku merasakan p*nisku mulai berdenyut-denyut dengan keras dan badanku mulai bergetar dengan hebat. Sesuatu dari dalam p*nisku serasa akan menerobos keluar, air m*niku sudah mendesak keluar.
“Akuu ngak tahan niihh.., mauu.. keluaar..!” mulutku mengguman, sementara tangan Erni terus mengoc*k dengan cepat b*tang p*nisku. Dan beberapa detik kemudian, “Crot.. croot.. croot.. crot..!” air m*niku memancar dengan kencang yang segera ditampung oleh mulut Erni dan Trisni.
Empat kali semprotan yang kurasakan, dan kelihatannya dibagi rata oleh Erni dan Trisni. Aku pun terkulai lemas sambil telentang di atas sofa. Selama sebulan lebih aku bergantian mengerjai keduanya, kadang-kadang barengan juga.