Pertemuan yang Dinanti: Ketika Duda dan Janda Bertemu untuk Pertama Kali

Posted on

Pertemuan yang Dinanti: Ketika Duda dan Janda Bertemu untuk Pertama Kali

Namaku Robbi, berasal dari kawasan Timur Indonesia, tinggal di Surabaya. Isteriku Ika yang terpaut lima tahun dariku telah dipanggil menghadap hadirat penciptanya. Tinggal aku seorang diri dengan dua orang anak yang masih membutuhkan perhatian penuh.

Aku harus menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka. Bukan hal yang mudah. Sejumlah teman menyarankan untuk menikah lagi agar anak-anak memperoleh ibu baru. Anjuran yang bagus, tetapi saya tidak ingin anak-anak mendapat seorang ibu tiri yang tidak menyayangi mereka. Karena itu aku sangat hati-hati.

Kehadiran anak-anak jelas merupakan hiburan yang tak tergantikan. Anita kini berusia sepuluh tahun dan Marko adiknya berusia enam tahun. Anak-anak yang lucu dan pintar ini sangat mengisi kekosonganku. Namun kalau anak-anak lagi berkumpul bersama teman-temannya, kesepian itu senantiasa menggoda.

Ketika hari telah larut malam dan anak-anak sudah tidur, kesepian itu semakin menyiksa. Sejalan dengan itu, n*fsu b*r*hiku yang tergolong besar itu meledak-ledak butuh penyaluran. Beberapa teman mengajakku mencari wanita p*ngg*lan tetapi aku tidak berani. Resiko terkena penyakit mengendurkan niatku. Terpaksa aku berm*sturb*si.

Sesaat aku merasa lega, tetapi sesudah itu keinginan untuk mengg*luti tubuh seorang wanita selalu muncul di kepalaku karena rasa kesepian. Tidak terasa tiga bulan telah berlalu. Perlahan-lahan aku mulai menaruh perhatian ke wanita-wanita lain. Beberapa teman kerja di kantor yang masih lajang kelihatannya membuka peluang. Namun aku lebih suka memiliki mereka sebagai teman.

Karena itu tidak ada niat untuk membina hubungan serius. Di saat keinginan untuk men*kmati tubuh seorang wanita semakin meningkat, kesempatan itu datang dengan sendirinya. Senja itu di hari Jumat, aku pulang kerja. Sepeda motorku santai saja kularikan di sepanjang Jalan Darmo. Maklum sudah mulai gelap dan aku tidak terburu-buru.

Di depan hotel Mirama kulihat seorang wanita kebingungan di samping mobilnya, Suzuki Baleno. Rupanya mogok. Kendaraan-kendaraan lain melaju lewat, tidak ada orang yang peduli. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak tahu apa yang hendak dilakukan. Rupanya mencari bantuan. Aku mendekat.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyaku sopan.
Ia terkejut dan menatapku agak curiga. Saya memahaminya. Akhir-akhir ini banyak kejahatan berkedok tawaran bantuan seperti itu.
“Tak usah takut, Mbak”, kataku.”Namaku Robbi. Boleh saya lihat mesinnya?”

Walaupun agak segan ia mengucapkan terima kasih dan membuka kap mesinnya. Ternyata hanya problema penyumbatan slang bensin. Aku membetulkannya dan mesin dihidupkan lagi. Ia ingin membayar tetapi aku menolak. Kejadian itu berlalu begitu saja.

Tidak kuduga hari berikutnya aku bertemu lagi dengannya di Tunjungan Plaza. Aku sedang menemani anak-anak berjalan-jalan ketika ia menyapaku. Kuperkenalkan dia pada anak-anak. Ia tersenyum manis kepada keduanya.

“Sekali lagi terima kasih untuk bantuan kemarin sore”, katanya,”Namaku Sinsin. Maaf, kemarin tidak sempat berkenalan lebih lanjut.”
“Aku Robbi”, sahutku sopan.

Harus kuakui, mataku mulai mencuri-curi pandang ke seluruh tubuhnya. Wanita itu jelas turunan Cina. Kontras dengan pakaian kantor kemarin, ia sungguh menarik dalam pakaian santainya. Ia mengenakan celana jeans biru agak ketat, dipadu dengan kaos putih berlengan pendek dan leher rendah.

Pakaiannya itu jelas menampilkan keseksian tubuhnya. Buah d*danya yang ranum berukuran kira-kira 38 menonjol dengan jujurnya, dipadu oleh pinggang yang ramping. Pinggulnya bundar indah digantungi oleh dua bongkahan pant*t yang besar.

“Kok bengong”, katanya tersenyum-senyum,”Ayo minum di sana”, ajaknya. Seperti kerbau dicocok hidungnya aku menurut saja. Ia menggandeng kedua anakku mendahului. Keduanya tampak ceria dibelikan es krim, sesuatu yang tak pernah kulakukan. Kami duduk di meja terdekat sambil memperhatikan orang-orang yang lewat.

“Ibunya anak-anak nggak ikut?” tanyanya.
Aku tidak menjawab. Aku melirik ke kedua anakku, Anita dan Marko. Anita menunduk menghindari air mata.

“Ibu sudah di surga, Tante”, kata Marko polos. Ia memandangku.
“Isteriku sudah meninggal”, kataku. Hening sejenak.
“Maaf”, katanya,”Aku tidak bermaksud mencari tahu”, lanjutnya dengan rasa bersalah.

Pokok pembicaraan beralih ke anak-anak, ke sekolah, ke pekerjaan dan sebagainya. Akhirnya aku tahu kalau ia manajer cabang satu perusahaan pemasaran tekstil yang mengelola beberapa toko pakaian. Aku juga akhirnya tahu kalau ia berusia 32 tahun dan telah menjanda selama satu setengah tahun tanpa anak.

Selama pembicaraan itu sulit mataku terlepas dari bongkahan d*danya yang menonjol padat. Menariknya, sering ia menggerak-gerakkan badannya sehingga buah d*danya itu dapat lebih menonjol dan kelihatan jelas bentuknya. Beberapa kali aku menelan air liur membayangkan nikmatnya mengg*muli tubuh bah*nol nan s*ksi ini.

“Nggak berpikir menikah lagi?” tanyaku.
“Rasanya nggak ada yang mau sama aku”, sahutnya.
“Ah, Masak!” sahutku,”Aku mau kok, kalau diberi kesempatan”, lanjutku sedikit nakal dan memberanikan diri.”Kamu masih cantik dan menarik. S*ksi lagi.”

“Ah, Robbi bisa aja”, katanya tersipu-sipu sambil menepuk tanganku. Tapi nampak benar ia senang dengan ucapanku.
Tidak terasa hampir dua jam kami duduk ngobrol. Akhirnya anak-anak mendesak minta pulang. Sinsin, wanita Cina itu, memberikan alamat rumah, nomor telepon dan HP-nya. Ketika akan beranjak meninggalkannya ia berbisik, “Saya menunggu Robbi di rumah.”

Hatiku bersorak-sorak. Lelaki mana yang mau menolak kesempatan berada bersama wanita semanis dan ses*ksi Sinsin. Aku mengangguk sambil mengedipkan mata. Ia membalasnya dengan kedipan mata juga. Ini kesempatan emas. Apalagi sore itu Anita dan Marko akan dijemput kakek dan neneknya dan bermalam di sana.

“OK. Malam nanti aku main ke rumah”, bisikku juga, “Jam tujuh aku sudah di sana.” Ia tersenyum-senyum manis.

Sore itu sesudah anak-anak dijemput kakek dan neneknya, aku membersihkan sepeda motorku lalu mandi. Sambil mandi imajinasi s*ksu*lku mulai muncul. Bagaimana tampang Sinsin t*npa pakaian? Pasti indah sekali tubuhnya yang b*gil. Dan pasti sangatlah nikmat mengg*luti dan meny*tubuh* tubuh semontok dan selembut itu.

Apalagi aku sebetulnya sudah lama ingin men*kmati t*buh seorang wanita Cina. Tapi apakah ia mau menerimaku? Apalagi aku bukan orang Cina. Dari kawasan Timur Indonesia lagi. Kulitku agak gelap dengan rambut yang ikal. Tapi.. Peduli amat. Toh ia yang mengundangku.

Andaikata aku diberi kesempatan, tidak akan kusia-siakan. Kalau toh ia hanya sekedar mengungkapkan terima kasih atas pertolongaku kemarin, yah tak apalah. Aku tersenyum sendiri. Jam tujuh lewat lima menit aku berhasil menemukan rumahnya di kawasan Margorejo itu.

Rumah yang indah dan mewah untuk ukuranku, berlantai dua dengan lampu depan yang buram. Kupencet bel dua kali. Selang satu menit seorang wanita separuh baya membukakan pintu pagar. Rupanya pembantu rumah tangga.
“Pak Robbi?” ia bertanya, “Silahkan, Pak. Bu Sinsin menunggu di dalam”, lanjutnya lagi.

Aku mengikuti langkahnya dan dipersilahkan duduk di ruang tamu dan iapun menghilang ke dalam. Selang semenit, Sinsin keluar. Ia mengenakan baju dan celana santai di bawah lutut. Aku berdiri menyambutnya.
“Selamat datang ke rumahku”, katanya.

Ia mengembangkan tangannya dan aku dirangkulnya. Sebuah c*uman mendarat di pipiku. Ini c*uman pertama seorang wanita ke pipiku sejak kematian isteriku. Aku berdebaran. Ia menggandengku ke ruang tengah dan duduk di sofa yang empuk. Mulutku seakan terkunci. Beberapa saat bercakap-cakap, si pembantu rumah tangga datang menghantar minuman.

“Silahkan diminum, Pak”, katanya sopan, “Aku juga sekaIkan pamit, Bu”, katanya kepada Sinsin.
“Makan sudah siap, Bu. Saya datang lagi besok jam sepuluh.”
“Biar masuk sore aja, Bu”, kata Sinsin, “Aku di rumah aja besok. Datang saja jam tiga-an.”

Pembantu itu mengangguk sopan dan berlalu.
“Ayo minum. Santai aja, aku mandi dulu”, katanya sambil menepuk p*haku.

Tersenyum-senyum ia berlalu ke kamar mandi. Di saat itu kuperhatikan. Pakaian santai yang dikenakannya cukup memberikan gambaran bentuk tubuhnya. Buah d*danya yang montok itu menonjol ke depan laksana gunung. Pant*tnya yang besar dan bulat berayun-ayun lembut mengikuti gerak jalannya. Pah*nya padat dan mulus ditopang oleh betis yang indah.

“Santai saja, anggap di rumah sendiri”, lanjutnya sebelum menghilang ke balik pintu.
Dua puluh menit menunggu itu rasanya seperti seabad. Ketika akhirnya ia muncul, Sinsin membuatku terkesima. Rambutnya yang panjang sampai di punggungnya dibiarkan tergerai. Wajahnya segar dan manis. Ia mengenakan baju tidur longgar berwarna cream dipadu celana berenda berwarna serupa.

Tetapi yang membuat mataku membelalak ialah bahan pakaian itu tipis, sehingga pakaian d*lamnya jelas kelihatan. ** merah kecil yang dikenakannya menutupi hanya sepertiga buah d*danya memberikan pemandangan yang indah. Cel*na d*lam merah jelas memberikan bentuk pant*tnya yang besar bergelantungan.

Pemandangan yang mengga*rahkan ini spontan mengungkit n*fsu b*r*hiku. Kemaluanku mulai bergerak-gerak dan berdenyut-denyut.
“Aku tahu, Robbi suka”, katanya sambil duduk di sampingku, “Siang tadi di TP (Tunjungan Plaza) aku lihat mata Robbi tak pernah lepas dari buah d*daku. Tak usah khawatir, malam ini sepenuhnya milik kita.”

Ia lalu menc*um pipiku. Nafasnya menderu-deru. Dalam hitungan detik mulut kami sudah lekat berp*gutan. Aku merengkuh tubuh montok itu ketat ke dalam pelukanku. Tangaku mulai bergerilya di balik baju tidurnya mencari-cari buah d*danya yang montok itu. Ia menggeIkat-geIkat agar tanganku lebih leluasa bergerak sambil mulutnya terus menyambut permainan bibir dan lid*hku. Lid*hku menerobos mulutnya dan bergulat dengan lid*hnya.

Tangannya pun aktif menyerobot T-shirt yang kukenakan dan mer*ba-r*ba perut dan punggungku. Membalas gerakannya itu, tangan kananku mulai merayapi p*hanya yang mulus. Kunikmati kehalusan kulitnya itu. Semakin mendekati pangkal p*hanya, kurasa ia membuka kakinya lebih lebar, biar tanganku lebih leluasa bergerak.

Peralahan-lahan tanganku menyentuh gundukan kem*luannya yang masih tertutup cel*na d*lam tipis. Jariku menelikung ke balik cel*na d*lam itu dan menyentuh bibir kem*luannya. Ia mengaduh pendek tetapi segera bungkam oleh permainan lid*hku. Kurasakan badannya mulai menggeletar menahan n*fsu b*r*hi yang semakin meningkat.

Tangannyapun menerobos cel*na d*lamku dan tangan lembut itu menggenggam bat*ng kem*luan yang kubanggakan itu. Kemaluanku tergolong besar dan panjang. Ukuran teg*ng penuh kira-kira 15 cm dengan diameter sekitar 4 cm. Senj*ta kebanggaanku inilah yang pernah menjadi kesukaan dan kebanggaan isteriku. Aku yakin senj*taku ini akan menjadi kesukaan Sinsin. Ia pasti akan ketagihan.

“Au.. Besarnya”, kata Sinsin sambil mengelus lembut kem*luanku.
Elusan lembut jari-jarinya itu membuat kem*luanku semakin mengembang dan mengeras. Aku mengerang-ngerang nikmat. Ia mulai menj*lati dagu dan leherku dan sejalan dengan itu melepaskan bajuku. Segera setelah lepas bajuku bibir mungilnya itu menyentuh put*ng sus*ku. Lidahnya bergerak lincah menj*latinya.

Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tangannya kembali menerobos celanaku dan menggenggam kem*luanku yang semakin berdenyut-denyut. Aku pun bergerak melepaskan pakaian tidurnya. Rasanya seperti bermimpi, seorang wanita Cina yang cantik dan s*ksi duduk di p*haku hanya dengan cel*na d*lam dan **.

“Ayo ke kamar”, bisiknya, “Kita tuntaskan di sana.”

Aku bangkit berdiri. Ia menjulurkan tangannya minta digendong. Tubuh bahenol nan s*ksi itu kurengkuh ke dalam pelukanku. Kuangkat tubuh itu dan ia bergayut di leherku. Lidahnya terus menerabas bat*ng leherku membuat nafasku terengah-engah nikmat.

Buah d*danya yang sungguh montok dan lembut menempel lekat di d*daku. Masuk ke kamar tidurnya, kurebahkan tubuh itu ke ranjang yang lebar dan empuk. Aku menariknya berdiri dan mulai melepaskan ** dan cel*na d*lamnya. Ia membiarkan aku melakukan semua itu sambil mend*sah-d*sah menahan n*fsunya yang pasti semakin mengg*la.

Setelah tak ada selembar benangpun yang menempel di tubuhnya, aku mundur dan memandangi tubuh tel*nj*ng bulat yang mengagumkan itu. Kulitnya putih bersih, wajahnya bulat telur dengan mata agak sipit seperti umumnya orang Cina. Rambutnya hitam tergerai sampai di punggungnya.

Buah d*danya sungguh besar namun padat dan menonjol ke depan dengan put*ng yang kemerah-merahan. Perutnya rata dengan lekukan pusar yang menawan. Pah*nya mulus dengan pinggul yang bundar digantungi oleh dua bongkah pant*t yang besar bulat padat. Di sela p*ha itu kulihat gundukan hitam lebat bulu kem*luannya. Sungguh pemandangan yang indah dan mengga*rahkan b*r*hi.

“Ngapain hanya lihat tok,” protesnya.
“Aku kagum akan keindahan tubuhmu”, sahutku.
“Semuanya ini milikmu”, katanya sambil merentangkan tangan dan mendekatiku.

Tubuh bug*l polos itu kini melekat erat ditubuhku. Didorongnya aku ke atas ranjang empuk itu. Mulutnya segera menjelajahi seluruh d*da dan perutku terus menurun ke bawah mendekati pusar dan pangkal p*haku. Tangannya lincah melepaskan celanaku. Cel*na d*lamku segera dipelorotnya.

Kem*lu*nku yang sudah teg*ng itu mencuat keluar dan berdiri tegak. Tiba-tiba mulutnya menangkap bat*ng kem*luanku itu. Kurasakan sensai yang luar biasa ketika lid*hnya lincah memutar-mutar kem*luanku dalam mulutnya. Aku meng*rang-ng*rang nikmat menahan semua sens*si g*la itu.

Puas mempermainkan kem*luanku dengan mulutnya ia melepaskan diri dan merebahkan diri di sampingku. Aku menelentangkannya dan mulutku mulai beraksi. Kuserga buah d*da kanannya sembari tangan kananku mer*mas-r*mas buah d*da kirinya. Bibirku meng*lum put*ng buah d*danya yang mengeras itu.

Buah d*danya juga mengeras diiringi deburan jantungnya. Puas buah d*da kanan mulutku beralih ke buah d*da kiri. Lalu perlahan tetapi pasti aku menuruni perutnya. Ia menggel*njang-l*njang menahan desakan b*r*hi yang semakin mengg*la. Aku menj*lati perutnya yang rata dan menjulurkan lid*hku ke pusarnya.

“Auu..” erangnya, “Oh.. Oh.. Oh..” jeritnya semakin keras.

Mulutku semakin mendekati pangkal p*hanya. Perlahan-lahan p*hanya yang mulus padat itu membuka, menampakkan l*bang surg*winya yang telah merekah dan basah. Rambut hitam lebat melingkupi l*bang yang kemerah-merahan itu. Kudekatkan mulutku ke lubang itu dan perlahan lid*hku menyuruk ke dalam lubang yang telah basah membanjir itu.

Ia menjerit dan spontan duduk sambil menekan kepalaku sehingga lid*hku lebih dalam terbenam. Tubuhnya menggeIkat-geIkat seperti cacing kepanasan. Pant*tnya menggeletar hebat sedang p*hanya semakin lebar membuka.
“Aaa.. Auu.. Ooo..”, jeritnya keras.

Aku tahu tidak ada sesuatu pun yang bakalan menghalangiku menikmati dan meny*tubuh* si canting bahenon nan s*ksi ini. Tapi aku tak ingin menikmatinya sebagai orang rakus. Sedikit demi sedikit tetapi sangat nikmat. Aku terus mempermainkan kl*tor*snya dengan lid*hku.

Tiba-tiba ia menghentakkan pant*tnya ke atas dan memegang kepalaku erat-erat. Ia melolong keras. Pada saat itu kurasakan banjir cairan vag*nanya. Ia sudah mencapai org*sme yang pertama. Aku berhenti sejenak membiarkan ia menikmatinya. Sesudah itu mulailah aku menjelajahi kembali bagian ters*nsitif dari tubuhnya itu.

Kembali er*ngan suaranya terdengar tanda b*r*hinya mulai menaik lagi. Tangannya terjulur mencari-cari bat*ng kej*nt*nanku. Kem*lu*nku telah tegak sekeras beton. Ia mer*masnya. Aku menjerit kecil, karena n*fsuku pun sudah diubun-ubun butuh penyelesaian.

Kudorong tubuh bahenon nan s*ksi itu rebah ke kasur empuk. Perlahan-lahan aku bergerak ke atasnya. Ia membuka p*hanya lebar-lebar siap menerima pen*trasi kem*luanku. Kepalanya bergerak-gerak di atas rambutnya yang terserak. Mulutnya terus menggumam tidak jelas. Matanya terpejam. Kuturunkan pant*tku.

B*tang kem*luanku berkilat-kilat dan memerah kepalanya siap menjalankan tugasnya. Kuusap-usapkan kem*luanku di bibir kem*luannya. Ia semakin menggel*njang seperti kepinding.
“Cepat.. Cepat.. Aku sudah nggak tahan!” jeritnya.
Kuturunkan pant*tku perlahan-lahan. Dan.. BLESS!

Kemal*anku menerobos l*ang sengg*manya diiringi jeritannya membelah malam. Tetangga sebelah mungkin bisa mendengar lolongannya itu. Aku berhenti sebentar membiarkan dia menikmatinya. Lalu kutekan lagi pant*tku sehingga kem*luanku yang panjang dan besar itu menerobos ke dalam dan terbenam sepenuhnya dalam l*ang surg*wi miliknya.

Ia menghentak-hentakkan pant*tnya ke atas agar lebih dalam menerima diriku. Sejenak aku diam menikmati s*nsasi yang luar biasa ini. Lalu perlahan-lahan aku mulai menggerakkan kem*luanku. Balasannya juga luar biasa. Dinding-dinding lubang kem*luannya berusaha menggenggam bat*ng kem*luanku.

Rasanya seberti dig*git-g*git. Pant*tnya yang bulat besar itu diputar-putar untuk memperbesar rasa nikmat. Buah d*danya tergoncang-goncang seirama dengan genj*tanku di kem*luannya.

Matanya terpejam dan bibirnya terbuka, berd*sis-d*sis mulutnya menahankan rasa nikmat. D*sisan itu berubah menjadi er*ngan kemudian jeritan panjang terlontar membelah udara malam. Kubungkam jeritannya dengan mulutku. Lid*hku bertemu lid*hnya. Sementara di bawah sana kem*luanku leluasa bertarung dengan kem*luannya, di sini lid*hku pun leluasa bertarung dengan lid*hnya.

“OH..”, er*ngnya, “Lebih keras sayang, lebih keras lagi.. Lebih keras.. Oooaah!”

Tangannya melingkar merangkulku ketat. Kuku-kukunya membenam di punggungku. Pah*nya semakin lebar meng*ngk*ng. Terdengar bunyi kecipak l*ndir kem*luannya seirama dengan gerakan pant*tku. Di saat itulah kurasakan gejala ledakan magma di bat*ng kem*luanku. Sebentar lagu aku akan org*sme.

“Aku mau keluar, Sinsin”, bisikku di sela-sela nafasku memburu.
“Aku juga”, sahutnya, “Di dalam sayang. Kel*arkan di dalam. Aku ingin kamu di dalam.”

Kupercepat gerakan pant*tku. Keringatku mengalir dan menyatu dengan keringatnya. Bib*rku kutekan ke b*birnya. Kedua tanganku mencengkam kedua buah d*danya. Diiringi geraman keras kuhentakkan pant*tku dan kem*luanku membenam sedalam-dalamnya. Sp*rmaku memancar deras. Ia pun melolong panjang dan menghentakkan pant*tnya ke atas menerima diriku sedalam-dalamnya.

Kedua p*hanya naik dan membelit pant*tku. Ia pun mencapai puncaknya. Kem*lu*nku berdenyut-denyut memuntahkan sp*rmaku ke dalam rah8mnya. Inilah org*smeku yang pertama di dalam kem*luan seorang wanita sejak kematian isteriku. Dan ternyata wanita itu adalah Sinsin yang cantik bah*nol dan s*ksi.

Sekitar sepuluh menit kami diam membatu mereguk semua detik kenikmatan itu. Lalu perlahan-lahan aku mengangkat tubuhku. Aku memandangi wajahnya yang berbinar karena b*r*hinya telah terpuaskan. Ia tersenyum dan membelai wajahku.

“Robbi, kamu hebat sekali, sayang”, katanya, “Sudah lebih dari setahun aku tidak merasakan lagi kej*nt*nan lelaki seperti ini.”
“Sinsin juga luar biasa”, sahutku, “Aku sungguh puas dan bangga bisa men*kmati tubuhmu yang menawan ini. Sinsin tidak menyesal bers*tubuh denganku?”

“Tidak”, katanya, “Aku malah berbangga bisa menjadi wanita pertama sesudah kematian isterimu. Mau kan kamu mem*askan aku lagi nanti?”
“Tentu saja mau”, kataku, “Bodoh kalau nolak rejeki ini.” Ia tertawa.

“Kalau kamu lagi pingin, telepon saja aku,” lanjutnya, “Tapi kalau aku yang pingin, boleh kan aku nelpon?”
“Tentu.. Tentu..”, balasku cepat.
“Mulai sekarang kamu bisa meny*tubuh* aku kapan saja. Tinggal kabarkan”, katanya.

Hatiku bersorak ria. Aku mencabut kem*luanku dan rebah di sampingnya. Kurang lebih setengah jam kami berbaring berdampingan. Ia lalu mengajakku mandi. Lapar katanya dan pingin makan. Malam itu hingga hari Minggu siang sungguh tidak terlupakan. Kami terus berpacu dalam b*r*hi untuk memuaskan n*fsu.

Aku meny*tubuh*nya di sofa, di meja makan, di dapur, di kamar mandi dalam berbagai posisi. Di atas, di bawah, dari belakang. Pendek kata hari itu adalah hari penuh kenikmatan b*r*hi. Dapat ditebak, pertemuan pertama itu berlanjut dengan aneka pertemuan lain. Kadang-kadang kami mencari hotel tetapi terbanyak di rumahnya. Sesekali ia mampir ke tempatku kalau anak-anak lagi mengunjungi kakek dan neneknya. Pertemuan-pertemuan kami selalu diisi dengan permainan b*r*hi yang panas dan mengga*rahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *